Kalimat pendek bahasa sunda (Banten) sebagai judul tulisan
ini yang artinya, “bukan ngaji ini”, diam-diam telah menjadi jargon pada
beberapa (oknum) pejabat dan juga pengusaha di tatar Kasultanan ini. Entah siapa yang
memulai ungkapan seperti itu, yang jelas dampak negatifnya sudah mulai terasa.
Boleh jadi, penyelewengan uang Negara (rakyat) di Banten yang kini kembali rame
terungkap, beberapa kasus diantaranya (untuk tidak menyebut semua) berawal dari
konspirasi dengan prinsip “lain ngaji ieuh”. Karena bukan ngaji, maka, mari kita akali, kita
atur, salahpun tidak dosa karena bukan ngaji. Begitulah, kira-kira prinsip
“lain ngaji ieuh” bekerja membuahkan penyelewengan.
Virus
Mind Set
Jika merujuk pada pengertian
tentang pola pikir (mind set) sebagai
pola pola dominan dan telah menatap dalam
pikiran bawah sadar
seseorang yang menjadi acuan utama seseorang untuk bertindak, boleh jadi “lain ngaji ieuh” sudah
merupakan pola pikir (mind set) merupakan
jika besebetulnya yang menjadi akar masalah susahnya terjadi perubahan di
kalangan birokrasi (reformasi birokrasi)
adalah persoalan mind set. Kebiasaan
lama yang sebetulnya kontraproduktif dengan arah reformasi birokrasi akan tetap mewarnai tingkah polah birokrasi
karena memang sudah menjadi pikiran bawah sadar para pelakunya,
sudah menjadi mind set. Tak
sedikit produk hukum baik yang dihasilkan pusat maupun daerah terkesan
“impoten” dalam tataran pelaksanaan.
Kembali pada amanat Gubernur Banten
di atas, yang mengharapkan anggota KORPRI dapat mewujudkan
jajaran birokrasi yang makin
profesional, netral, dan sanggup menghadirkan kualitas pelayanan publik yang terbaik bagi
seluruh warganya, tampaknya
persoalan mind set birokrasi di Tanah
Kasultanan ini juga yang akan menjadi soal dalam memenuhi harapan tersebut. Sebagai
salah satu contoh saja, ada kalimat yang sudah menjadi jargon di kalangan
(oknum) birokrasi Banten yang dapat dimaknai sebagai antiprofesioalisme. Kalimat sederhana yang terkesan agamis, namun
jika dipahami maksudnya, dapat dimaknai sebagai kalimat yang bukan saja sekuler
(pemisahan urusan keagamaan dan keduniaan), namun juga telah menjadikan
penyempitan makna ngaji. Ungkapan
itu adalah: “lain ngaji ieuh!”
(bukan ngaji ini). Biasanya ungkapan ini akan keluar sebagai solusi ketika dalam
pelaksanaan tugas sebagai PNS, lalu menemukan kesulitan mengikuti aturan yang
membuat urusan jadi mandeg. Ungkapan tersebut
menjadi semacam peneguhan dan semakna dengan “atur saja, yang penting lancar”.
Prinsip yang terkandung pada jargon
tersebut tidak boleh dibiarkan begitu saja berkembang. Ia akan menjadi semacam
virus mind set, bukan hanya melanda birokrasi, namun juga dapat
menjangkiti masyarakat Banten secara keseluruhan. Mengapa demikian?
Hal tersebut dapat dijelaskan berdasar
mekanisme pembentukan mind set. Pada
awal didengar sebuah prinsip itu akan menjadi ingatan jangka pendek yang akan
mempengaruhi tindakan. Jika prinsip dan tindakan tersebut dikuatkan dengan
pengulangan, maka akan menjadi ingatan jangka panjang yang mewujud dalam sebuah
kebiasaan. Dan, jika kebiasaan tersebut terus dikuatkan, maka akan menjadi
ingatan bawah sadar yang terejawantah menjadi mind set atau sering disebut juga karakter. Jadi, prinsip lain ngaji ieuh dan turunannya yang
antiprofesionalisme itu, jika dibiarkan akan mewabah pada seluruh aparatur
provinsi. Boleh jadi, prinsip yang pada awalnya hanya persoalan oknum, akan
menjadi persoalan sistem karena telah menjadi mind set sebagian besar aparatur Banten.
Jika dirunut pada perkembangan
karakter global, lahirnya prinsip lain
ngaji ieuh dapat dikatakan bersumber dari budaya instant yang kini sedang melanda sebagian besar tatanan masyarakat.
Budaya yang selalu ingin cepat memanen, namun melupakan kewajiban menabur.
Budaya jalan pintas, budaya ogah
mengikuti proses alamiah. Tegasnya, budaya dengan mind set ingin enaknya saja. Budaya yang akan melemahkan karakter
kejuangan bangsa ini. Budaya yang pada akhirnya memberikan kontribusi dalam mempertahankan
dan menumbuhsuburkan KKN di negeri ini.
Penutup
Fenomena di atas jelas menjadi tantangan
besar Badan Diklat Provinsi Banten sebagai SKPD yang bertugas membatu Gubernur
dalam pengembangan sumberdaya aparatur di lingkungan Pemerintahan Provinsi
Banten (Pemerintah Daerah dan Perangkat Daerah). Agaknya, kinerja Badan Diklat yang
kini sudah baik ini, harus juga dapat mengantisipasi fenomena tersebut.
Pelaksanaan program diklat hendaknya tidak terjebak pada rutinitas dan
merupakan “adegan ulang” dari program-program sebelumnya belaka. Inovasi dan
kreativitas dalam hal menerapkan metode, model, dan teknologi pengembangan
sumber daya aparatur sesuai perkembangan zaman harus terus dikembangkan.
Ke depan, program pengembangan
sumber daya aparatur Banten, selain terus meningkatkan kompetensi teknis dalam
menjalankan roda pemerintahan, juga harus berorientasi pada pembentukan aparaur
dengan kecakapan untuk hidup lebih bermakna. Kecakapan tersubut meliputi:
ü Kecakapan memimpin diri sendiri;
ü Kecakapan menanggapi perubahan;
ü Kecakapan menciptakan nilai (merujuk nilai
luhur dan ilahiah);
ü Kecakapan tumbuh dan berkembang bersama orang
lain.
Dengan demikian, aparatur profesional
yang selalu melandasi pola pikir dan tindakannya dengan Iman dan Taqwa, yang
dilimpahi kekuatan untuk mencurahkan seluruh energinya dalam mewujudkan rakyat
Banten sejahtera sesuai visi Banten yang kita cintai ini, betul-betul dapat
mendekati kenyataan. Semoga. Allah wu’alam bissawab.
* Nazarudin, Widyaiswara
Muda Badan Diklat Provinsi Banten