Senin, 24 Juni 2013

Tahun Ajaran Baru: Ajang Penyesuaian Diri Bagi Anak dan Orang Tua

beni badaruzaman

Berbagai pusat keramaian dan tempat-tempat rekreasi belakangan ini dipadati para orang tua dan anak sekolah yang sedang menikmati liburan. Ada kelegaan dan keceriaan menghiasi wajah anak-anak sekolah tersebut setelah ulangan dan ujian akhir usai. Mereka layak untuk menikmati liburan ini dan besar harapan dari para orang tua agar anak sekolah mendapatkan pengalaman yang unik dan berharga.

Selama beberapa hari, anak-anak terbebas dari aktivitas sekolah, tugas, ulangan, ujian, bahkan sampai aktivitas rutin bangun pagi. Liburan memang layak diidamkan oleh anak sekolah termasuk orang tua. Sayangnya, masa-masa liburan tak akan lama dan harus berakhir. Menjelang masuk sekolah, anak dan orang tua juga akan memenuhi toko buku dan toko pakaian yang menjual kelengkapan sekolah. Segala materi dan atribut sekolah seperti buku pelajaran, alat tulis, seragam sekolah, tas sekolah sampai pernak-pernik seperti ikat rambut dan kaos kaki menjadi incaran anak dan orang tua. Bahkan, orang tua harus mengambil cuti (bagi orang tua yang bekerja full time) untuk menyempatkan pergi belanja. Inilah salah satu ritual memasuki tahun ajaran baru. Selain itu, bagi anak-anak yang lulus jenjang pendidikan tertentu (misal lulus SD), orang tuanya sudah pasti harus sibuk pula mengurus pendaftaran dan memenuhi administrasi jenjang pendidikan selanjutnya. Berbagai kesibukan memenuhi hari-hari setelah berlibur.

Kisah pun kemudian terus berlanjut. Setelah kebutuhan materi terpenuhi, menjelang periode masuk sekolah, orang tua mulai duduk di kursi arogannya dengan memberikan berbagai wejangan atau nasihat kepada anaknya. Beberapa nasihat yang klise terlontar:
“Kalo sudah kelas 5 berarti harus lebih rajin lho!”
“Kamu sudah semakin besar, sudah SMP.  Jadi harus mandiri ya, jangan bangun siang lagi!”
“Kamu kan sudah masuk SMA, berarti harus tahu tanggung jawabnya ya! Jangan banyak main sama baca novel aja. Nanti kalau nggak lulus, gimana?!”
Orang tua juga mulai membeberkan berbagai tugas-tugas tambahan untuk mereka.  Orang tua mulai menuntut agar anaknya melakukan hal-hal yang lebih positif sehubungan dengan peningkatan jenjang pendidikan dan kelas anak. Tanpa disadari, orang tua berbicara hanya satu arah tanpa mempertimbangkan tanggapan anak dan kondisi baru yang akan anak hadapi nanti setelah masuk sekolah lagi.

Banyak orang tua sudah puas ketika telah memenuhi kebutuhan sekolah anaknya berupa materi. Bagi orang tua, tanggung jawabnya cukup sampai di situ. Kalaupun ada tambahan, orang tua merasa bertanggung jawab untuk menasihati anaknya agar siap memasuki tahun ajaran baru. Dalam hal ini, tuntutan penyesuaian diri dianggap hanya ada di pihak anak saja. Sudut pandang bahwa penyesuaian diri perlu dilakukan oleh berbagai pihak, kurang dipikirkan orang tua.

Ketika anak memasuki tahun ajaran baru, sesungguhnya anak akan dihadapkan pada berbagai kondisi baru. Anak akan berhadapan dengan teman-teman baru dalam satu kelas, berhadapan dengan guru-guru baru, tuntutan materi pelajaran yang semakin kompleks, perubahan waktu belajar dan istirahat di sekolah, termasuk mungkin perubahan jam berangkat sekolah. Perubahan-perubahan seperti tersebut di atas akan lebih terasa oleh mereka yang memasuki sekolah baru atau naik jenjang yang lebih tinggi, misalnya lulus SD lalu masuk SMP dan seterusnya. Perubahan-perubahan yang terjadi kadang kurang disadari oleh anak dan orang tua. Kalaupun disadari, belum semua orang tua mempersiapkan anaknya untuk nyaman dan siap menjalani perubahan yang ada.

Perubahan menuntut penyesuaian diri

Saat anak memasuki kondisi sekolah yang baru maka anak dituntut untuk menyesuaikan diri dengan kondisi tersebut. Menyesuaikan diri di sini bukan berarti anak berubah “menjadi” seperti tuntutan lingkungannya. Hal yang diharapkan adalah anak dapat memadukan potensi dan kondisi internal dirinya dengan lingkungan tempat ia berinteraksi. Sekecil apapun perubahan yang terjadi, penyesuaian diri tetap perlu dilakukan agar anak dapat tampil optimal. Misalnya, anak sangat terbiasa dengan cara guru “X” mengajar, maka dengan cara tersebut ia dapat optimal mencerap materi pelajaran. Kenyataannya, saat ia naik kelas, ia mendapatkan  guru yang mungkin berbeda cara pengajaranya dengan guru di kelas sebelumnya, hal ini tentu mempengaruhi sikap belajar anak. Bisa saja anak menjadi tidak tertarik untuk mempelajari materi tersebut dan menjadi malas ke sekolah. Fenomena ini wajar dan mungkin terjadi pada anak sekolah di kelasnya yang baru. Melihat kondisi seperti ini, anak dituntut untuk melakukan suatu penyesuaian untuk mengikuti cara guru mengajar. Pertanyaannya sekarang, apakah penyesuaian diri hanya perlu dilakukan anak?

Anak Menyesuaikan Diri, Orang Tua Juga

Melihat contoh di atas, orang tua dapat berpikir lebih lanjut bahwa saat anak malas ke sekolah dan malas belajar, toh orang tua juga tidak dapat tinggal diam. Orang tua akan mencari cara dan membantu mendampingi anak untuk menghadapi perubahan belajar tersebut. Misalnya di tahun ajaran yang lalu, orang tua tidak pusing atau repot memikirkan anaknya belajar, akan tetapi di tahun ajaran baru sekarang, orang tua disibukkan oleh anaknya yang malas belajar. Kondisi ini menyadarkan orang tua bahwa penyesuaian diri bukan hanya dilakukan oleh anak tapi juga orang tua. Contoh lain, saat di tahun ajaran lalu, anak sekolah pagi yang dimulai pukul 07.00. Ternyata, di tahun ajaran ini, anak harus masuk siang sehingga orang tua perlu mengubah jadual mengantar anak ke sekolah disesuaikan dengan aktivitas orang tua. Selain itu, ada juga perubahan jam belajar di rumah, perubahan jam istirahat dan makan sehingga waktu aktivitas orang tua juga perlu penyesuaian. Hal kecil ini sering terjadi namun kadang kurang disadari orang tua bahwa penyesuaian diri anak adalah termasuk penyesuaian orang tua juga, hanya saja mungkin dengan cara-cara yang berbeda.

Mendampingi anak dalam proses penyesuaian diri

Pengenalan karakter anak

Ketika orang tua menyadari bahwa anak dan orang tua perlu penyesuaian diri saat memasuki tahun ajaran baru, maka di siitulah orang tua belajar lebih memahami karakter anak. Penyesuaian diri anak yang satu tentu berbeda dengan anak lainnya. Pengalaman anak sulung yang mengalami kendala ketika diajari oleh guru “X” bisa saja tidak dialami anak kedua yang diajar guru yang sama. Pemahaman orang tua terhadap keunikan karakter dari anak yang satu dengan lainnya akan membantu pendampingan anak dalam menyesuaikan diri. Pada contoh kasus, orang tua hendaknya jangan menyamaratakan pandangannya dari anak sulung ke anak yang lain. Hendaknya orang tua memahami karakter sulung dan adiknya berbeda sehingga orang tua lebih siap mendampingi si adik. Akan lebih mudah bagi orang tua mendampingi anaknya jika orang tua mengenal betul karakter anaknya.

Kami dari Rumah STIFIn Banten siap membantu mengidentifikasi Karakter dari setiap Anak-anak Anda secara GENETIS. Cukup dengan 1 (satu) kali tes seumur hidup dan hasilnya pun tidak akan berubah sampai kapanpun.

Dengan melakukan Scan 10 Sidik jari, maka hasilnya akan tergambar belahan otak sebelah mana yang dominan yang sering dipakai. Nah, itulah karakter anak-anak Anda. Lakukan penggemblengan dengan kelebihannya tersebut.

Hubungan baik dan komunikasi yang mendukung

Hal lain yang menjadi penting adalah hubungan anak dan orang tua serta komunikasi yang terjadi di antara mereka. Hubungan orang tua yang hangat dengan anaknya akan memudahkan orang tua dalam mendampingi anak menyesuaikan diri. Orang tua menjadi lebih mudah menggali hal-hal yang menghambat anaknya saat penyesuaian diri dan si anak akan lebih terbuka pada orang tua. Saat terjalin hubungan baik dan komunikasi yang lancar maka proses diskusi dan cara penyelesaian suatu masalah dapat berjalan lancar. Misalnya, saat jam masuk sekolah berubah, maka orang tua dapat berdiskusi dengan anak tentang siapa yang akan menjemput anak lalu anak akan mengemukakan pendapatnya. Contoh lain, saat anak murung di rumah setelah pulang sekolah, orang tua bisa menanyakan apa penyebabnya. Dengan keterbukaan dan komunikasi yang lancar maka anak akan menceritakan mengapa murung, lalu bersama-sama berdiskusi untuk mencari solusinya.

Cara berdiskusi jika sudah diketahui Mesin kecerdasannya, maka akan lebih mudah dan terarah, maka itu harus terlebih dahulu diketahui Mesin Kecerdasannya dengan melakukan Tes Mesin Kecerdasan STIFIn.

Bersama-sama menyesuaikan diri

Menyadari bahwa anak adalah bagian dari kehidupan orang tua dan orang tua punya kendali pada anak, maka perlu disadari bahwa penyesuaian diri anak adalah juga penyesuaian diri orang tua. Ada tipe orang tua yang menyadari bahwa dirinya juga perlu menyesuaikan diri dengan kebutuhan anak yang memasuki tahun ajaran baru. Di sisi lain ada juga orang tua yang tidak terpikir bahwa anak membutuhkan bantuan orang tua dalam menghadapi perubahan yang ada di tahun ajaran baru. Pilihannya ada di tangan orang tua. Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa kesadaran akan perlunya penyesuaian diri yang baik dapat membantu anak dan orang tua menjalani hari-harinya penuh bahagia tanpa beban.

Penyesuaian diri disini adalah, Lingkungan yang selalu berubah harus disesuaikan dengan setiap Mesin Kecerdasan Setiap Anak. Ingat setiap Mesin Kecerdasan mempunyai lingkungan sendiri-sendiri yang betul-betul KLIK. STIFIn sudah mengindentifikasi masing-masing lingkungan yang cocok dengan Mesin Kecerdasan.

Selamat memasuki tahun ajaran baru, selamat menyesuaikan diri.
(sumber lptui.com) 

Jumat, 14 Juni 2013

Ayo Sekolah di Sekolah yang Tepat !

beni badaruzaman

Tanpa terasa sebentar lagi kita akan memasuki pertengahan tahun 2013. Bagi kebanyakan orang tua yang memiliki anak usia sekolah, pertengahan tahun merupakan masa yang cukup merepotkan karena di bulan Juni-Juli orang tua harus mengerahkan biaya dan perhatian untuk urusan sekolah. Mulai dari menyisihkan dana untuk biaya baju seragam, buku-buku, uang pangkal masuk sekolah baru, hingga memberikan perhatian khusus bagi anak untuk membantunya menyesuaikan diri di lingkungan sekolah.

Bicara soal pendidikan, hampir semua orang ingin menempuh pendidikan setinggi dan sebaik mungkin. Oleh sebab itu, orang tua jaman sekarang sudah jauh-jauh hari menyiapkan dana pendidikan anak. Kalaupun dana sadah tersedia, masalahnya sekarang adalah menentukan pilihan sekolah. Sekolah mana yang tepat?
Apakah sekolah dengan ruang kelas ber-AC?
Sekolah yang memiliki fasilitas laboratorium lengkap?
Sekolah yang dekat rumah?
Sekolah yang populer?
Atau sekolah yang berbasis agama?
Banyaknya jenis sekolah memang menjadi dilema tersendiri bagi kita sebagai orang tua yang menginginkan hal terbaik untuk anak. Terlebih lagi jika mendengar rumor tentang sisi negatif suatu sekolah seperti:
“Ah, di sekolah itu kan banyak siswanya yang narkoba.”
“Ah, sekolah itu kan gurunya kurang berkualitas.”
“Sekolah itu kan fasilitasnya minim sekali.” ... atau,
“Sekolah itu kuno sistem pengajarannya.”
Keragu-keraguan seperti ini yang membuat orang tua merasa sangat bingung, walaupun dana sudah mencukupi.

Melalui pengalamannya selama belasan tahun di bidang konsultasi edukasi, LPTUI menilai perlu sekali orang tua memailiki pemahaman memadai tentang pemilihan sekolah yang tepat untuk anak. Sekarang, mari kita luruskan dahulu beberapa anggapan keliru tentang sekolah yang selama ini berkembang di masyarakat. Harapannya, dengan memahami informasi yang benar, orang tua akan terbantu memilih sekolah yang paling tepat untuk anak mereka.

Sekolah Unggulan

Menurut Pemerintah, sekolah unggulan adalah sekolah dengan rata-rata NUAN (dulu NEM) yang bagus. Pengertian “bagus” ini belum dirumuskan dengan jelas dan tidak ada nilai baku yang terstandar karena nilai NUAN selalu berubah setiap tahun. Artinya, bisa saja rata-rata NUAN sebuah sekolah terlihat tinggi karena secara kebetulan ada siswa-siswa tertentu di sekolah tersebut yang sangat cerdas sehingga nilai NUAN mereka mampu mengangkat rata-rata nilai NUAN sekolahnya. Unggulan juga ternyata bukan dipandang dari metode pengajaran yang bagus, kualitas guru yang bagus, atau bahkan fasilitas sekolah. Jadi, orang tua harus waspada untuk tidak mudah tergiur semata-mata karena label ”unggulan”. Lihat kembali, apakah sekolah itu memiliki kualitas guru yang bagus dan fasilitas yang memadai.

Mitos Sekolah Negeri

Anggapan yang paling umum mengenai sekolah negeri adalah bahwa biayanya murah dan memiliki fasilitas yang lengkap. Dulu, memang sekolah negeri mematok biaya yang relatif lebih rendah dibanding sekolah swasta. Saat ini, ada juga sekolah negeri yang menarik biaya cukup mahal. Biasanya ini karena sekolah tersebut telah mendapat label sebagai bernai mematok biaya hampir sama dengan sekolah swasta. Mengenai fasilitas, dulu setiap sekolah negeri memang bisa bergantung pada subsidi pemerintah. Saat ini, subsidi pemerintah tidak lagi mencukupi kebutuhan fasilitas sekolah sehingga sekolah perlu mencari dana lain untuk menyediakan fasilitas yang diperlukan. Hal inilah yang pada akhirnya meningkatkan biaya bulanan bersekolah di sekolah negeri. Anggapan lain tentang sekolah negeri adalah bahwa lulusannya bermutu karena metode pengajarannya bermutu. Hal ini pun belum tentu benar karena unggulnya metode pengajaran baru terasa jika didukung oleh fasilitas serta guru-guru yang berkualitas. Oleh karena itu, pelajari juga riwayat sekolah dan cari tahu kualitas guru dan sarana sekolahnya.

Mitos Sekolah Swasta

Masih ada anggapan bahwa sekolah swasta adalah “sekolah buangan” yaitu sekolah yang siswanya memiliki NUAN buruk sehingga tidak diterima di sekolah negeri. Kenyatannya, banyak sekolah swasta yang bermutu baik. Hal ini terbukti dari banyaknya lulusan sekolah swasta yang juga sanggup meraih NUAN tinggi. Kita juga mengenal sekolah swasta yang berbasis agama (sekolah Katolik, Kristen, atau Islam misalnya). Sekolah berbasis agama tentu saja ikut menitikberatkan pendidikan agama. Akhirnya muncul mitos bahwa sekolah seperti itu cenderung “kolot” atau “kaku” karena banyak aturan-aturan yang ketat. Adapula yang beranggapan bahwa sekolah berbasis agama banyak yang identik dengan suku bangsa tetentu. Seperti sekolah Katolik dan Kristen banyak didominasi oleh etnis Tionghoa, sedangkan sekolah Islam mayoritas siswanya pribumi atau Arab. Sekolah swasta juga dikenal menarik biaya yang mahal. Bijaklah menyikapi persepsi ini. Ada sekolah swasta yang bisa memberi keringanan bagi siswa yang kurang mampu. Disiplin sekolah swasta di satu sisi juga bisa memberi manfaat bagi anak untuk belajar bertanggung jawab. Sedangkan terkait dengan dominasi etnis tertentu, di saat bangsa kita mesti membangun kebhinekaan, tentunya kurang bijak kalau kita justru menghindarkan anak kita dari pembauran. Sepanjang mutu sekolah memang bagus, anak kita tetap akan menerima proses pembelajaran yang terbaik bukan? Bahkan mungkin ia juga akan belajar beradaptasi dengan etnis lain, sebuah pelajaran yang mungkin tidak diterima siswa di sekolah lain.

Sekolah Nasional Plus

Dewasa ini, status sekolah Nasional Plus sedang menjamur. Di jalan-jalan terpampang iklan-iklan yang menjual kehebatan sekolah Nasional Plus. Sekolah ini biasanya berkolaborasi dengan lembaga pendidikan luar negeri seperti dari Singapura, Malaysia, atau Australia. Bahasa Inggris yang dipandang sebagai bahasa keren bagi banyak orang tua membuat sekolah Nasional Plus menjadi incaran karena menggunakan metode pengajaran bilingual (dua bahasa: Indonesia dan Inggris). Selain itu, sekolah ini juga menjual keunggulan berupa fasilitas yang lengkap dan mewah, diantaranya laboratorium bahasa yang canggih, serta fasilitas olah raga dan ekstrakurikuler yang bergengsi seperti berkuda, golf, tennis, orkestra, atau berenang di kolam renang sekolah, dan lainnya. Sekolah ini kadangkala mengandalkan fasilitas dan lisensi metode pengajaran luar negeri serta gedung mewah. Hal ini membuat para orang tua tergiur dan beranggapan bahwa sekolah mahal adalah sekolah bagus. Benarkah demikian? Sekali lagi, orang tua perlu meneliti lebih jauh. Walaupun didukung dengan fasilitas yang sangat memadai, jika sekolah Nasional Plus tidak memiliki jajaran pengajar yang berpengalaman, maka julukan ”sekolah yang bermutu” masih belum layak disandang oleh sekolah ini.

Wah, memilih sekolah di jaman sekarang memang tidak mudah ya. Cukup memusingkan dan menjadi beban bagi orang tua. Berikut ini beberapa patokan atau standar yang dapat digunakan dalam memilih sekolah. Patokan atau standar seperti ini dapat disepakati orang tua dan anak (jika anak sudah mampu mengenal potensinya) dalam memilih sekolah yang paling tepat.

Sekolah yang TEPAT, mengandung arti sekolah tersebut dapat mengakomodir aktualisasi potensi anak. Oleh karena itu,

  • Jika kemampuan anak tergolong kurang, jangan dipaksakan masuk ke sekolah yang kompetisi akademiknya sangat keras karena akan membuat anak terbebani, minder, dan akhirnya merasa lebih bodoh dari apa yang mestinya masih bisa ia tampilkan.
  • Sesuaikan pemilihan sekolah dengan minat anak. Cari informasi tentang ekstrakurikuler yang tersedia, apakah dapat mendukung minat anak, misalnya di bidang seni atau olah raga. Selain berpeluang mengembangkan bakat anak, juga dapat membantu membuat anak menyukai sekolah. (Kenali bakat bakat bawaat anak dengan TES STIFIn)
  • Bagi anak yang sudah menginjak remaja, perlu ada dialog antara orang tua dan anak mengenai minat dan keinginan anak. Hal ini untuk mengantisipasi timbulnya alasan “Aku malas sekolah karena ini bukan sekolah pilihanku”. Ikut sertakan anak dalam mencari informasi dan membahas mutu sekolah.
  • Bagi anak yang masih kecil yang akan memasuki Play Group, TK, atau SD, maka orang tua perlu melihat program pengajaran yang ditawarkan sekolah, apakah sesuai dengan kesiapan belajar anak. Misalnya metode pengajaran bilingual, apakah anak sudah cukup menguasai bahasa utamanya sehingga siap untuk belajar bahasa kedua? Apakah orang tua bisa mendukung anak di rumah untuk berlatih bahasa kedua? Juga tentang nilai-nilai moral dan sosial, apakah metode pengajaran sesuai dengan nilai-nilai yang ingin ditanamkan orang tua? Misalnya saja perlukah anak bersekolah di sekolah yang berbasis agama?
  • Kalau anak yang memiliki kebutuhan khusus misalnya hiperaktif atau ada gangguan motorik, jangan paksakan anak bersekolah di sekolah dengan banyak siswa dalam satu kelas meskipun sekolah itu sangat baik di mata orang tua. Anak-anak seperti ini membutuhkan penanganan khusus agar ia dapat berkembang optimal. Carilah sekolah yang menyediakan fasilitas terapis atau paling tidak school buddy sehingga perkembangan anak di sekolah dapat terpantau dan terfasilitasi dengan baik.
  • Fasilitas yang menggiurkan juga belum tentu menjawab kebutuhan anak. Meskipun fasilitas lengkap dapat menunjang anak untuk lebih mudah belajar, namun jika tidak didukung oleh kualitas guru yang baik dalam arti mampu memahami karakteristik anak, maka fasilitas pun akan kurang berperan.

Semua sekolah pasti memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga membutuhkan waktu bagi orang tua untuk mempertimbangkan sekolah mana yang unsur positifnya paling banyak. Langkah pertama adalah pahami anak anda sedalam mungkin untuk membantunya menemukan sekolah yang paling tepat. Ingat, sekolah yang baik menurut orang tua belum tentu merupakan sekolah yang paling tepat bagi anak. Kedua, carilah informasi tentang sekolah-sekolah yang menjadi alternatif pilihan. Hadirlah jika ada sesi open-house, ajak guru-gurunya mengobrol di luar acara formal untuk mengetahui pengalaman mereka dalam mengajar dan minat mereka pada pengembangan anak. Carilah orang tua yang anaknya sudah cukup lama bersekolah di situ dan tanyakan kesan-kesan mereka. Sedapat mungkin, cari juga keterangan dari anak mereka yang merasakan langsung bersekolah di sana. Selain mutu pendidikan, tanyakan juga kebiasaan-kebiasaan yang berlaku. Berikutnya, barangkali Anda juga perlu mempertimbangkan hal-hal lain seperti unsur keselamatan dan aksesibilitas (mudah dijangkau kendaraan umum, ada telepon umum), kebersihan, dan sebagainya.

Semoga informasi ini dapat membantu Anda, sebab bentuk kasih sayang orang tua salah satunya tercermin dari kebijaksanaan orang tua saat memilih sekolah yang TEPAT bagi anak dan masa depannya. (Erfianne Cicilia Psikolog lpti.com)

Rumah STIFIn Banten siap membantu mengarahkan anak-anak Anda dalam pemilihan sekolah yang sesuai dengan Minat dan Bakat buah hati tercinta Anda menuju PRESTASI terbaiknya

Rabu, 12 Juni 2013

AKU Remaja Masa Kini

beni badaruzaman

Ujian nasional baru saja selesai dilaksanakan. Keluh kesah, jeritan-jeritan kecil mengenai sulitnya soal ujian nasional selalu terdengar setiap kali siswa-siswa kelas 3 SMP maupun SMA keluar ruang ujian.
"Padahal udah tiga kali gue ikutan try-out di bimbel loh!"
"Gue pasrah aja deh ngikutin bocoran yang dikirim sms semalem" 
Komentar-komentar seperti ini rasanya tidak asing lagi. Memang sudah menjadi pola yang umum dimana remaja sekarang cenderung mengambil jalan-jalan pintas dalam mencapai tujuannya. Untuk bisa lulus ujian nasional dengan nilai yang memuaskan, kebanyakan dari mereka lebih memilih mengikuti program bimbingan belajar intensif satu bulan sebelum ujian, daripada menyiapkan diri dengan tekun belajar sejak jauh hari di sekolah. Parahnya, tak sedikit pula yang mengambil jalan tol dengan mencari bocoran jawaban soal ujian. Kelompok yang ini bahkan rela merogoh saku dalam-dalam demi mendapatkan bocoran yang paling akurat.

Dari pengalaman melaksanakan tes penelusuran minat bakat, saya juga bisa menemukan pola yang serupa. Remaja yang sudah menduduki kelas akhir, baik di SMP maupun SMA, sering tidak tahu mau melanjutkan sekolah ke mana. Begitu pula ketika saya melakukan konseling karir bagi para lulusan perguruan tinggi. Masih banyak dari mereka yang merasa kurang yakin harus melanjutkan ke mana jika ingin kuliah lagi, atau memilih bidang kerja apa yang paling pas. Psikolog, ataupun hasil penelusuran minat dan bakat, menjadi tumpuan harapan mereka untuk mendapatkan pengarahan menyeluruh mengenai jalan hidup yang akan mereka tempuh. Tak jarang mereka bahkan bertanya ke psikolog mengenai universitas mana saja yang memiliki jurusan pendidikan yang mereka minati, atau perusahaan mana yang cukup bonafide sebagai tempat memulai karir. Sungguh mengecewakan kalau untuk informasi demikianpun mereka tetap harus disuapi.

Sikap-sikap seperti inilah yang menyebabkan remaja masa kini sering dikatakan sebagai generasi instan. Generasi yang maunya langsung bisa melakukan sesuatu, langsung dapat petunjuk dari orang lain, langsung bisa menikmati sesuatu tanpa harus berusaha keras untuk mendapatkannya. Seringkali saya berpikir, apa ya yang menyebabkan fenomena ini muncul? Kalau dikaji baik-baik, bukan sepenuhnya kesalahan si remaja bahwa mereka terbentuk menjadi generasi instan. Berbagai perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya memiliki andil dalam membentuk gaya atau sikap mereka yang demikian :

Pengaruh Globalisasi

Perubahan yang terjadi dalam lingkungan global dimana informasi dapat dengan sangat cepat diakses, membuat semuanya terlihat serba mudah. Berbagai bentuk gadget yang digandrungi remaja, komputer yang sudah digunakan sejak mereka berusia sangat muda, dan akses ke dunia global yang dapat dilakukan dalam hitungan detik, membuat impresi pada remaja bahwa seperti inilah seharusnya segala sesuatu berproses. Mereka secara otomatis memandang hal-hal yang membutuhkan proses lama sebagai hal yang memakan waktu, tidak praktis, dan merugikan.

Pengaruh Keluarga

Semakin tingginya tingkat pendidikan orang tua di dalam keluarga meningkatkan pula taraf kesejahteraan keluarga tersebut. Selain itu, orang tua juga cenderung tidak ingin anaknya ketinggalan jaman, gagap teknologi, atau  mengalami kesulitan seperti mereka dulu. Hal ini membuat orang tua dengan gampangnya mengabulkan permintaan anak, atau memfasilitasi anak-anaknya dengan beragam perlengkapan teknologi dan informasi yang belum tentu mereka butuhkan. Alhasil, anak-anak dimanjakan dengan segala kemudahan yang ada dan merasa tidak perlu melalui proses yang cukup lama untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.

Yang menyedihkan adalah remaja dari kalangan bawah dengan orang tua yang memiliki keterbatasan ekonomi. Remaja kalangan ini mulai banyak melakukan hal-hal melanggar norma demi dapat menyamai gaya hidup rekan-rekannya dari kalangan atas. Beberapa fenomena kriminal mulai dari pencurian oleh remaja, hingga remaja yang menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK) jelas merupakan usaha instan untuk menyetarakan diri dengan remaja lain.

Pengaruh Institusi Pendidikan

Saat ini banyak sekolah yang hanya mengejar target kelulusan siswa karena hal tersebut akan mendongkrak nama sekolah. Hal ini juga berpengaruh pada sikap orang-orang yang terlibat dalam proses pendidikan formal. Sudah sangat jarang kita dengar ada guru yang menekankan pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan dibanding sekedar nilai ujian yang tinggi. Kecenderungan cara mengajar guru sekarang adalah memberikan rumus-rumus singkat atau kisi-kisi materi ujian yang dapat membantu siswanya mengerjakan soal ujian secara mudah dan cepat. Metode pengajaran seperti ini tidak lagi mengajak siswa berusaha memahami pelajaran secara menyeluruh tetapi lebih fokus pada topik-topik yang diperkirakan akan keluar di ujian. Pada akhirnya, siswa pun enggan meluangkan waktu untuk mempelajari kembali keseluruhan materi pelajaran karena toh pada akhirnya guru maupun pihak bimbingan belajar akan memberikan ringkasan materi dalam format yang sudah rapi.

Melihat berbagai faktor di atas, tak heran remaja masa kini menjadi generasi yang instan. Rupanya banyak sekali kemudahan-kemudahan yang mereka temui di dalam kehidupannya. Sampai-sampai untuk menentukan langkah hidup pun mereka begitu saja menyerahkan diri kepada saran psikolog berdasarkan hasil penelusuran minat dan bakat. Padahal sebenarnya mereka juga dapat melakukan sendiri suatu proses yang dimulai dengan pengenalan potensi diri sendiri, bakat apa yang mereka miliki, dan hal-hal apa saja yang mereka sukai. Dengan menelaah hal-hal ini mereka dapat mencari sendiri informasi tentang bidang-bidang apa yang bisa mereka geluti di perguruan tinggi atau dalam pekerjaan.

Nah, untuk membantu proses pengenalan diri dan penetapan tujuan ini, ada sebuah konsep sederhana yang sangat bermanfaat yang disebut dengan Penetapan A-K-U (Ambisi – Kenyataan – Usaha). Melalui konsep ini, para remaja bisa mulai belajar menetapkan tujuan-tujuannya sendiri sesuai dengan keadaan dirinya saat ini. Tidak hanya itu, remaja juga bisa mulai merancang usaha-usaha apa saja yang perlu ia lakukan untuk bisa mencapai tujuannya tersebut.

Ambisi

Ambisi adalah segala sesuatu yang ingin dicapai seseorang. Untuk mengetahui Ambisinya, remaja harus melakukan analisis mengenai apa yang menjadi sasaran-sasarannya dalam hidup. Hal-hal apa saja yang ia anggap berarti, yang ingin ia raih di masa yang akan datang. Apakah ingin menjadi pengacara terkenal, ingin memiliki restoran keluarga, atau ingin menjadi perancang busana untuk butiknya sendiri. Yang penting, Ambisi yang ditetapkan harus mengikuti hukum SMART (Specific, Measurable, Achievable, Relevant, Time-bound). Artinya, Ambisi yang hanya berupa “ingin jadi akuntan ngetop” saja tidaklah cukup. Ambisi tersebut perlu dipertajam lagi, misalnya “ingin menjadi akuntan yang tergabung dalam PriceWater House Cooper, dan setelah bekerja selama 2 tahun sudah bisa menangani top ten best companies di Indonesia”  Jangan lupa menyelaraskan satu ambisi dengan ambisi yang lain, juga pastikan ambisi-ambisi tersebut mungkin tercapai.

Kenyataan

Kenyataan yang dimaksud di sini adalah keadaan diri pribadi remaja. Karakteristik apa saja yang ia miliki, segala bentuk keterbatasan, keahlian, hobi, minat, dan lain lain. Selain itu, di dalam kenyataan ini juga termasuk keadaan-keadaan tertentu yang ada di sekitar remaja, misalnya keadaan sosial ekonomi keluarga, jumlah saudara kandung, koneksi-koneksi sosial yang dimiliki, dan sebagainya. Untuk mempermudah, kenyataan diri ini dapat disusun menjadi dua bagian besar. Yaitu kenyataan-kenyataan yang sifatnya membantu pencapaian ambisi, dan kenyataan yang berkemungkinan menghambat pencapaian ambisi.

Usaha

Setelah merumuskan Ambisi dan Kenyataan dirinya, remaja bisa mulai mencari-cari jalur apa saja yang bisa ia tempuh untuk bisa meraih ambisi-ambisinya. Yang perlu disadari adalah bahwa terkadang tidak mungkin mencapai suatu ambisi dengan hanya mengandalkan usaha satu langkah saja. Untuk ambisi menjadi akuntan terkenal misalnya, tentu pertama-tama harus lulus ujian nasional dulu, lalu masuk jurusan akuntansi di perguruan tinggi berkualitas, mendapat IPK minimal 3,00, dan diterima kerja di Kantor Akuntan Publik ternama. Masing-masing lagkah Usaha ini dapat dijadikan sebagai sub-Ambisi demi tercapainya Ambisi utama menjadi akuntan terkenal.

Tidak sulit bukan? Yang menjadi tantangan memang bukanlah membuat remaja menyusun penetapan A-K-U-nya, melainkan menyadarkan bahwa merekalah yang bertanggung jawab atas masa depannya sendiri. Oleh karena itu hendaknya mereka mau meluangkan waktu untuk sedikit melalui proses mandiri merancang keberhasilannya.

Nah, nampaknya kita dan para orang tua pun perlu merancang penetapan Ambisi kita yang baru, yaitu membuat generasi masa kini bukan menjadi generasi instan, melainkan menjadikannya generasi brilian yang pintar memaknai kehidupan. Bahwa bukan pencapaian-pencapaian saja yang penting, melainkan juga seberapa besar proses usaha yang dilalui untuk bisa meraih pencapaian tersebut.

Selasa, 11 Juni 2013

Bersahabatlah dengan PERBEDAAN

beni badaruzaman
Memiliki tiga anak, membuatku merasa sudah cukup mengenal karakter anak-anakku. Hanya saja, akhir-akhir ini kegelisahanku muncul setelah si bungsu duduk di kelas 3 SD dimana ia mulai memiliki jadwal belajar rutin dan berhadapan dengan materi pelajaran yang lebih kompleks. Satu hal yang membuat aku bingung dan khawatir adalah cara belajarnya. Kedua kakaknya biasa belajar dengan cara yang kuajarkan, yaitu duduk di ruang belajar, membaca materi, dihafalkan dan melakukan tanya jawab denganku. Berhadapan dengan si bungsu sungguh membuatku pusing, karena ia senang sekali belajar di kamarnya sambil memutar musik dengan volume keras..

(NS - Ibu Rumah Tangga)


Hmm...ternyata, memiliki tiga orang anak tidak berarti membuat kita telah mengenal berbagai karakter manusia. Setelah memiliki dua anak, maka dugaan yang sering terjadi adalah bahwa si anak ketiga akan memiliki karakter seperti salah satu kakaknya. Ternyata yang terjadi tidak seperti itu. Si bungsu justru memiliki karakter yang berbeda lagi. Contohnya di sini, ia memiliki gaya belajar yang  berbeda dibanding kedua kakaknya. Inilah yang umum disebut perbedaan individual, dimana individu yang satu pasti memiliki perbedaan dibanding individu lain, sehingga membuat masing-masing individu adalah unik.

Sebenarnya kita memiliki kesadaran bahwa kita memiliki perbedaan satu sama lain. Meskipun demikian, biasanya kesadaran mengenai perbedaan ini baru timbul setelah kita membanding-bandingkan antara satu individu dengan individu lain.

Secara umum, memang ada persamaan yang harus dialami oleh setiap anak. Misalnya pada tahap tertentu di usia tertentu anak mulai bisa tertawa setelah melihat orang lain tertawa, atau di usia tertentu anak harus mulai bisa merangkak, berjalan dan sebagainya. Sadarkah anda, bahwa para ahli perkembangan anak tidak pernah mengatakan “tepat pada usia satu tahun dua bulan tiga hari, seorang anak harus sudah bisa berdiri sendiri” Kebanyakan referensi perkembangan anak juga pasti hanya mencantumkan angka “14 bulan” sebagai patokan usia dimana anak biasanya sudah bisa berdiri sendiri. Melalui hal ini kita dapat melihat bahwa memang tersedia ruang untuk perbedaan individual dalam perkembangan anak.

Mengenai perbedaan individual itu sendiri, terdapat banyak sekali faktor yang dapat membuat seorang individu menjadi berbeda dari individu yang lain. Berawal dari masa kehamilan, bayi dalam kandungan tentu sudah terbentuk dari susunan genetik yang berbeda. Selain itu, kondisi emosi dan fisik ibu saat hamil juga mempengaruhi temperamen anak yang dikandungnya. Misalnya, saat mengandung si A, ibu merasa bahagia karena mengandung anak pertama, maka bayi A akan terlahir dengan temperamen tertentu. Lalu jika saat ibu mengandung si B, ia berada pada kondisi kurang nyaman (misalnya karena baru pindah pekerjaan baru), maka si B akan terlahir dengan temperamen yang berbeda pula.

Setelah lahir, si A diasuh oleh ayah dan ibu dibantu nenek yang sedang bahagia memiliki cucu pertama. Sedangkan si B kemudian hari diasuh oleh ayah, ibu dan dibantu oleh baby sitter. Dua pola asuh yang berbeda, tentu memberi dampak yang berbeda dan akhirnya menghasilkan pribadi yang berbeda pula.

Memasuki masa sekolah, perbedaan budaya sekolah, metode pengajaran, lingkungan pergaulan, dan lain-lain juga akan berkontribusi pada pembentukan kepribadian masing-masing anak kita. Belum lagi dengan memperhitungkan hubungan dengan orang tua, minat, bakat, dan masih banyak lagi. Bayangkan betapa banyak sumber yang dapat membentuk perbedaan individu, dan hal-hal tersebut ada di setiap tahap kehidupan.

Pada kesempatan ini, saya mengajak pembaca website StifinBanten.com untuk berpikir sederhana. Kali ini tidak perlu melihat perbedaan individual dari sudut pandang teori manapun atau dari pendekatan ilmiah tertentu. Melihat dari kehidupan sehari-hari saja sudah dapat membuka wawasan kita bahwa perbedaan individual ada dimana-mana.

Seringkali kita menengar bahwa anak yang dilahirkan kembarpun pasti akan memiliki perbedaan, dan dengan melihat banyaknya faktor pembentuk perbedaan individual, maka dapat dikatakan bahwa perbedaan individual tidak dapat kita hindari. Karena tidak dapat kita hindari, maka saya mengajak para orang tua untuk tidak mempermasalahkan adanya perbedaan di antara anak-anak anda. Sebagai orang tua, hal yang perlu kita sadari adalah bahwa terus menerus membandingkan anak dengan saudaranya atau dengan orang lain dapat membuat anak kita merasa tidak nyaman. Hal ini karena anak akan merasakan adanya tuntutan-tuntutan tertentu terhadap dirinya.

Oleh karena itu, berhentilah merisaukan perbedaan anak anda. Dengan menjadi berbeda, sebenarnya anda dapat berbangga hati karena ini berarti anak anda cukup cerdas dan kreatif untuk  dapat mempelajari pola yang lain dibandingkan saudara-saudaranya. Sudut pandang baru yang perlu dibentuk adalah perbedaan justru merupakan hal positif. Karena dengan perbedaan, anak-anak kita dapat saling mengisi kelebihan dan kekurangan diantara mereka. Selain itu, perbedaanlah yang menjadikan kehidupan ini semakin lengkap, bervariasi, dan menarik. Bayangkan jika anda memiliki 3 anak dengan karakter yang persis sama. Jangan-jangan anda justru akan bosan mengurus anak-anak anda?

Maka marilah, mulai dari sekarang, bersahabatlah dengan PERBEDAAN!

Minggu, 09 Juni 2013

Cara Bijak Mencintai Anak

beni badaruzaman

"Om Kami ingin anak kami itu memperoleh atau menikmati apa yang tidak kami nikmati waktu kami kecil, kami ingin anak kami memiliki kehidupan yang sempurna, menurut kami ini bentuk kami mencintai anak kami, bagaimana tanggapan Om"

Dialog diatas adalah sepenggal kalimat yg terlontar dari sebuah keluarga yg kehidupannya lebih beruntuk ketika mereka dimasa kecil, dan ini mungkin sebagian dari kisah kita juga.

Memanjakan anak tidak sama dengan mencintai mereka. Dengan memanjakan anak, Anda justru menjerumuskan mereka ke dalam ketidakmandirian. Anda tentu sadar bahwa Anda tidak akan bisa selamanya bersama-sama anak. Akan tiba waktunya dimana sang anak harus menjalani kehidupannya sendiri tanpa ada orang tua yang menyokong dan siap menjadi busa yang empuk ketika mereka jatuh. Untuk itu, Anda perlu memberikan pengalaman-pengalaman berharga tentang hidup, yang akan menyiapkan anak dalam menjalani kehidupannya kelak. Caranya, dengan MENCINTAI mereka:

Anda MENCINTAI anak ketika Anda membiarkan mereka jatuh dari sepeda, kemudian menyemangati mereka untuk mencoba lagi.

Anda MENCINTAI anak ketika Anda membiarkan mereka membuat kesalahan ketika mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR), membimbing mereka menemukan kesalahan tersebut, namun meminta mereka untuk memperbaikinya sendiri. Sangat mudah bagi Anda untuk langsung memperbaiki kesalahannya, namun anaklah yang perlu belajar – bukan Anda.

Anda MENCINTAI anak ketika Anda membuat mereka menunggu sampai saat ulang tahun atau kenaikan kelas untuk memberikan benda-benda yang mereka inginkan. Anda memberikan pelajaran tentang usaha dan perasaan antusias menunggu untuk bisa mendapatkan hal yang berharga.

Anda MENCINTAI anak ketika Anda membuat mereka mengembalikan barang-barang yang mereka ambil dari orang lain. Anda meminta anak meminta maaf kepada pemilik barang tersebut dan menjelaskan kepada anak bahwa tidak semua hal yang mereka inginkan bisa mereka peroleh dengan seenaknya.

Anda MENCINTAI anak ketika Anda siap membantunya ketika ia terlibat masalah. Ketika ia yang menyebabkan masalah, Anda memastikan bahwa anak harus meminta maaf dan memperbaiki perilakunya. Sebaliknya, jika ia yang menjadi korban, Anda yakinkan dia bahwa Anda akan membelanya dan bersama-asma emncari jalan keluar.

Anda MENCINTAI anak ketika Anda seringkali mengatakan bahwa mereka adalah anugerah Tuhan bagi Anda, dan Anda adalah orang tua yang paling beruntung di dunia. Anda sangat MENCINTAI anak ketika Anda mengatakan hal ini setiap hari, sehingga mereka akan siap menghadapi dunia dengan perasaan berharga dan penuh percaya diri.

Nah, pada titik ini Anda pasti sudah bisa membedakan antara memanjakan dan mencintai anak. Anda juga tentu sudah sadar bahwa MENCINTAInya jauh lebih berguna bagi anak, dibanding jika Anda memanjakannya. Mudah-mudahan tulisan kecil di atas bisa membantu Anda dan istri menjadi orang tua yang mencintai anak dengan lebih baik lagi. Selamat menjadi orang tua yang bijak!

Sabtu, 08 Juni 2013

Self Awareness: Langkah awal menuju adaptasi emosi

beni badaruzaman

“Aku tidak bisa hidup tanpa dia! Aku tidak berguna!”
“Jangan begitu, masih banyak yang bisa kamu lakukan dalam hidup”
“Tapi cuma dia yang bisa membuatku bahagia”
“Masih ada pria-pria lain yang pasti lebih baik darinya”
“Aku tidak peduli! Pokoknya hidupku sekarang sudah tak berarti lagi!”

Percakapan singkat di atas adalah penggalan adegan dari sebuah sinetron di televisi. Kisah klise tentang seorang wanita yang ditinggal pergi pasangan yang sangat dicintainya. Banyak alasan kenapa sang pria pergi. Bisa jadi karena bekerja di lain kota, selingkuh dengan wanita lain, atau bahkan meninggal dunia karena tertular penyakit langka. Yang jelas, sepeninggal pria ini, sang wanita merasa kehilangan jati diri. Ia terlarut dalam emosi kesedihan yang mendalam hingga ia pun merasa hidupnya telah berakhir.

Pernahkah Anda mengalami hal yang serupa? Mungkin bukan kasus putus cinta, namun kasus-kasus lain dimana Anda sulit menanggulangi emosi Anda sendiri. Salah satu kasus sederhana yang sering terjadi adalah ketika berkendara di jalan raya. Seberapa sering Anda merasa ”tersinggung” ketika ada kendaraan lain yang menyerobot jalur Anda, hingga kemudian Anda tancap gas untuk kembali menyusul kendaraan tersebut? Atau pernahkah Anda memaki-maki supir kendaraan umum yang seenaknya menghentikan kendaraan di tengah jalan untuk menaikkan penumpang? Atau kejadian emosional lain di situasi yang berbeda, misalnya di kantor. Di tengah kekalutan mendekati deadline kerja, biasanya apa yang Anda lakukan? Tak henti-henti mengumpat karena atasan Anda justru menambah beban kerja? Memarahi staf Anda karena sepertinya mereka malah kerja berlambat-lambat? Ataukah justru Anda bolos kerja karena tidak kuat lagi menghadapi tekanan di kantor? Tanpa disadari, ternyata emosi banyak sekali mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari. Sebelum melangkah lebih jauh, mari kita sama-sama telusuri dulu apa yang dimaksud dengan emosi.

Emosi merupakan suatu reaksi mental dan psikologis yang muncul secara spontan ketika seseorang berhadapan dengan suatu kondisi. Misalnya, ketika seseorang menjalani hari pertamanya berkerja sebagai sekretaris, maka wajar jika ia merasa senang karena mendapat pekerjaan, sekaligus merasa takut melakukan kesalahan mengetik. Lebih lanjut, terdapat empat jenis emosi dasar yaitu:

  • Senang
  • Sedih
  • Marah
  • Takut

Keempat emosi ini kemudian berkembang menjadi berbagai emosi seperti cemas, malu, jijik, dan sebagainya. Emosi sendiri sebenarnya tidak memiliki muatan “benar” atau ”salah” karena ini merupakan reaksi manusiawi dalam menghadapi sesuatu. Perilaku yang mengikuti emosilah yang bisa dinilai “benar” atau “ salah”. Dalam  kasus sekretaris baru tadi, jika ia tidak mampu mengatasi emosi takut yang ia rasakan dan kemudian mengetik dengan terlalu hati-hati sehingga memakan waktu yang sangat lama untuk membuat satu surat saja, maka perilaku inilah yang dapat dinilai “salah”.

Perlu diperhatikan bahwa tidak hanya emosi negatif seperti takut, marah, atau sedih saja yang bisa membuat kita menunjukkan perilaku yang “salah”. Emosi positif seperti bahagia juga bisa merugikan jika kita tidak paham bagaimana cara mengaturnya menjadi perilaku yang sesuai. Salah satu contoh adalah kasus siswa-siswa yang lulus ujian akhir nasional. Mereka menunjukkan luapan kegembiraannya dengan melakukan konvoi di jalan, membuat coret-coretan di dinding, atau bernyanyi-nyanyi dengan suara keras yang mengganggu orang lain. Tentunya kegembiraan mereka tidak salah karena mungkin mereka memang telah berusaha maksimal untuk lulus, namun cara mereka menunjukkan kegembiraan itulah yang tidak wajar dan dinilai salah menurut umum.

Wah, kalau emosi positif saja bisa merugikan, berarti kita benar-benar harus pandai mengendalikan perilaku yang menyertai emosi tertentu. Lantas, apa yang bisa kita lakukan untuk mengendalikan perilaku emosional kita? Langkah pertama adalah memiliki self-awareness.

Self Awareness

Untuk dapat mengendalikan perilaku emosional, kita perlu mengenali dulu emosi apa yang kita rasakan pada suatu waktu. Self Awareness (kesadaran diri) adalah perhatian yang berlangsung ketika seseorang mencoba memahami keadaan internal dirinya. Prosesnya berupa semacam refleksi dimana seseorang secara sadar memikirkan hal-hal yang ia alami berikut emosi-emosi mengenai pengalaman tersebut. Dengan kata lain, Self Awareness adalah keadaan ketika kita membuat diri sendiri sadar tentang emosi yang sedang kita alami dan juga pikiran-pikiran kita mengenai emosi tersebut.

Seorang pakar psikologi yang banyak menekuni permasalahan emosi, John D. Mayer, mengatakan bahwa umumnya ada 3 gaya yang tampil ketika seseorang menghadapi emosinya, yaitu:

Terbebani (Engulfed)
Tipe ini tenggelam dalam emosi-emosinya dan tidak mampu keluar dari situasi ini. Mereka tidak memahami emosinya sendiri sehingga bisa mudah larut terbawa emosi. Akibatnya, mereka tidak banyak berusaha untuk keluar dari kondisi emosi tertentu dan akhirnya tidak mampu mengontrol perilaku emosionalnya. Contohnya adalah kasus putus cinta yang jadi pembuka artikel ini, atau kasus orang yang memaki-maki pengendara lain karena lalu lintas yang macet. Mereka tidak meluangkan waktu lebih banyak untuk menyadari emosi sedih atau marah yang sedang mereka rasakan. Begitu merasakan emosi tertentu, tanpa pikir panjang mereka langsung bereaksi sesuai dorongan emosi tersebut.

Menerima (Accepting)
Orang-orang ini sebenarnya menyadari emosi apa yang mereka rasakan namun cenderung menerima begitu saja emosi yang sedang terjadi dan tidak mencoba memahami emosi tersebut lebih jauh. Pada akhirnya mereka tidak berusaha untuk beradaptasi dengan emosi yang muncul. Hal ini bisa menjadi masalah ketika emosi yang dialami adalah sedih, lalu dibiarkan berkepanjangan sehingga bisa menimbulkan perasaan tertekan (depresi). Hal lain terjadi ketika emosi yang dirasakan adalah marah atau takut. Mungkin saja dalam jangka panjang, emosi marah yang dibiarkan ini bisa berubah jadi perasaan dendam, sedangkan emosi takut bisa menjadi paranoid (rasa takut berlebihan yang tidak jelas alasannya).

Sadar diri (Self-aware)
Orang-orang dengan gaya ini menyadari dan memahami emosi yang terjadi pada dirinya. Mereka mengetahui batas-batas norma yang perlu dijaga dan berpikir untuk mengelola emosi yang dirasakan agar perilakunya masih berada dalam ambang batas tersebut. Pada waktu merasakan emosi positif, orang-orang yang sadar diri mampu menunjukkan kegembiraannya dengan sesuai dan bisa mempertahankan perasaan menyenangkan dari emosi itu untuk beberapa lama. Di lain pihak, ketika mengalami emosi negatif, mereka tidak terlalu terobsesi dengan hal yang memicu emosi tersebut dan bisa segera keluar dari perasaan tidak nyaman. Contohnya ketika orang yang sadar diri mengalami putus cinta. Kemungkinan besar ia akan memahami bahwa emosi sedihnya itu wajar ia rasakan, namun tidak akan berlarut-larut dalam kesedihan. Ia akan mencari kegiatan lain yang lebih produktif untuk mengatasi perasaan sedih yang mendalam tersebut.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa ketika sadar diri kita jadi lebih mudah mengontrol emosi yang dirasakan sehingga bisa lebih efektif mengendalikan perilaku emosional kita. Kita bisa lebih memahami emosi kita berikut alasan-alasan yang menjelaskan kenapa kita merasakan emosi tersebut. Dan dengan menyadari alasan munculnya suatu emosi, berarti kita telah mendorong otak kita berpikir tentang tingkat kepentingan sumber masalah.
Begini contohnya. Misalnya seorang karyawan terjebak di kemacetan. Orang yang sadar diri akan menyadari bahwa ia merasakan emosi marah karena dirinya lelah sepulang dari hari yang padat di kantor. Ia ingin cepat tiba di rumah karena anak dan istri telah menunggu. Ketika ada kendaraan lain yang menyerobot jalurnya, sebenarnya si karyawan sudah siap untuk murka, melampiaskan amarahnya pada pengemudi kendaraan yang tidak sopan itu. Tapi karena ia sadar diri, ia berpikir lagi alasan kenapa dirinya ingin cepat-cepat pulang. Pada akhirnya ia bisa menyadari bahwa jauh lebih penting untuk bisa tiba di rumah dengan selamat daripada menyulut perkelahian di jalan raya. Nah, pilihan yang tepat bukan?

Dengan keuntungan-keuntungan menjadi orang yang sadar diri, tentu kita ingin menjadi orang yang demikian. Sekarang pertanyaannya, bagaimanakah caranya?

Membangun Self Awareness

Kesadaran diri dapat dibangun dengan mengaktifkan bagian otak yang disebut neokorteks. Ini adalah bagian otak yang terkait dengan penggunaan bahasa. Artinya, untuk meningkatkan kesadaran diri, Anda perlu “membahasakan”, mengidentifikasi, dan menamai emosi yang Anda rasakan. Beberapa cara yang bisa dilakukan adalah:

I Messages (Pesan “Saya.....”)
Menuliskan atau menyatakan perasaan dengan menggunakan pesan yang diawali dengan “Saya....”. Contohnya: “Saya merasa perilaku Anda sama sekali tidak menghargai kerja keras saya” atau “Saya kecewa dengan keputusan yang kamu buat”. I message menyadarkan Anda bahwa kendali dari permasalahan yang terjadi ada di tangan Anda. Anda yang merasakan sebuah emosi, Anda yang menyatakan, dan Anda yang memiliki kendali untuk mengubah keadaan.

Berbagai Cara Berbagai Warna
Menggunakan berbagai metode untuk melukiskan dan mendeskripsikan perasaan:
Warna, contoh: warna kuning untuk emosi senang, biru untuk sedih, merah untuk marah, dan lain lain. Anda bisa menggunakannya dalam berpakaian, tinta alat tulis, warna font di komputer, dan sebagainya.

Skala, contoh: “Saya cukup merasa bahagia, kira-kira 80 dari 100 lah”. Ini memberi gambaran yang cukup terukur kira-kira seberapa kuat intensitas emosi yang Anda alami. Jika Anda bisa mengatakan bahwa kesedihan Anda berskala 50:50, maka tidak ada alasan bagi Anda untuk berlarut-larut dalam kesedihan itu.

Analogi, contoh : “Kalau saya ini gunung, saya sudah mau meletus!”. Analogi ini juga bisa digunakan sebagai pengukur intensitas emosi Anda. Bagi orang Indonesia, analogi seperti ini biasanya lebih mudah dipahami karena budaya kita memang banyak mengajarkan simbolisasi dalam bahasa (contoh: bagai kacang lupa kulitnya).

Menuliskan kebutuhan yang tidak terpenuhi
Hal ini ditujukan untuk menjelaskan kepada diri sendiri alasan dari emosi yang sedang Anda rasakan. Contoh: ketika Anda marah pada saat staf Anda tidak ikut memikul beban kerja yang sama, Anda bisa menuliskan “Saya ingin dia ikut lembur ketika saya lembur” beserta kebutuhan/keinginan lain yang Anda sadari. Semakin banyak kebutuhan/keinginan yang Anda tuliskan, maka Anda akan semakin menyadari keadaan emosi diri.

Menuliskan yang ingin dilakukan
Sebenarnya ini sudah memasuki tahap lanjutan dari Self Awareness. Setelah Anda menyadari emosi-emosi yang sedang dialami, langkah selanjutnya adalah menentukan hal apa yang ingin Anda lakukan selanjutnya terkait dengan emosi tersebut. Pada contoh Anda marah pada staf yang malas-malasan tadi,  Anda bisa menuliskan “Saya ingin memotong gajinya kalau pulang lebih cepat lagi” atau “Saya akan langsung menegurnya jika ia menolak penugasan".  Dengan menuliskan hal yang ingin dilakukan, Anda memberikan kesempatan bagi otak untuk kembali berpikir: apakah hal-hal tersebut sudah sesuai dan tidak menyalahi norma yang berlaku.

Dengan membiasakan hal-hal di atas, Anda akan bisa merasa lebih nyaman menghayati emosi-emosi Anda tanpa harus larut dan lepas kendali. Nah, setelah Anda belajar banyak tentang emosi dan Self Awareness, tidak ada alasan lagi bagi Anda untuk merasa tidak berdaya ketika dilanda suatu emosi yang kuat. Baik itu emosi negatif, maupun emosi positif. Sekarang Anda sudah belajar untuk membuat diri Anda sendiri menyadari emosi-emosi tersebut. Tinggal separuh langkah selanjutnya dimana Anda merencanakan perilaku yang sesuai untuk mengekspresikan emosi tersebut kepada orang lain.

Senin, 03 Juni 2013

Resensi Buku Fight Like A Tiger Win Like A Champion

beni badaruzaman

Beberapa  waktu yang lalu saya membeli sebuah buku yang bagus dan sampai sekarang masih suka dibaca terutama pada saat saya membutuhkan ‘energi’ untuk recharge kembali motivasi hidup yang kadang hampir padam. Kemanapun saya pergi buku tersebut selalu menemani dalam setiap perjalanan. Buku tersebut berjudul ‘Fight Like a Tiger , Win Like a Champion’ yang ditulis oleh Darmadi Darmawangsa dan Imam Munadhi. Bahasa yang digunakan menurut saya enak untuk dibaca. Kebanyakan isinya berupa cerita yang menginspirasi pembaca untuk menggali lebih dalam makna di balik cerita tersebut. Sebagaimana dalam pengantar oleh penulisnya bahwa buku tersebut merupakan ‘kumpulan cerita inspiratif yang dipadukan di dalam prinsip prinsip siap pakai’.

Buku setebal 365 halaman + 17 halaman tambahan, diterbitkan oleh Elex Media Komputindo pada saat saya membeli sudah masuk dalam cetakan ke 8. Yang berarti bahwa buku ini menjadi salah satu best seller di tanah air. Walaupun mempunyai judul dalam bahasa inggris namun sesungguhnya isinya murni bahasa Indonesia. Sehingga dapat dengan mudah dipahami oleh siapa saja termasuk yang awam dalam bahasa inggris.

Setiap bab menyuguhkan cerita motivasi dan prinsip yang memberikan anda dorongan untuk pengambilan tindakan yang besar guna tercapainya tujuan hidup anda. Buku ini memberikan berbagai tips sederhana namun berguna agar dapat langsung dipraktekkan. Delapan prinsip kesuksesan dalam buku ini menunjukkan bagaimana membangun sikap yang positif, memiliki mimpi yang besar, bagaimana menemukan karier yang anda cintai dan masih banyak lagi. Setiap prinsip diulas secara mendalam, disajikan dalam satu bab khusus. Jadi setiap bab masing masing berisi satu prinsip untuk dibahas. Setiap bab utama tersebut selalu diawali dengan kata ‘The Power Of…’.

1. The power of Positive Attitude

Bab ini membahas mengenai apa pengertian dari positive attitude serta hal hal apa saja yang diperlukan agar pembaca dapat mempunyai attitude seperti yang diharapkan. Bagaimana kita harus berfokus terhadap tujuan untuk mencapai keberhasilan. Serta menyikapi masalah yang muncul dalam perjalanan mencapai tujuan tersebut.

2. The Power Of Belief

Belief atau keyakinan akan mempengaruhi sikap/attitude terhadap setiap permasalahan hidup yang dihadapi, “if you believe you can..You can”. Begitu salah satu prinsip seorang juara mengenai sebuah keyakinan. Membahas mengenai bagaimana mendayagunakan keyakinan sebagai salah satu prinsip kesuksesan .

3. The Power Of Goals

Kunci kesuksesan dibangun dari tujuan yang kuat agar dapat dicapai. Tanpa tujuan/goals yang jelas mustahil dicapai sesuatu yang berarti. Bagaimana memvisualisasikan goals yang ingin diperoleh serta kriteria goals seperti apa yang sebaiknya dibuat atau ingin dicapai, semuanya dibahas pada bab ini.

4. The Power Of Failures

Kegagalan merupakan bekal kesuksesan pada masa mendatang dengan mengingatkan bahwa setiap kegagalan membawa bibit yang dapat menghasilkan keuntungan yang sama atau bahkan jauh lebih besar. Kegagalan juga sebuah proses dalam mencapai sebuah keberhasilan. Apa yang seharusnya kita ambil mengenai kegagalan yang dialami, anda dapat menemukannya di bab ini. Juga bagi anda yang selama ini merasa trauma dengan kegagalan , anda mungkin akan menemukan pemecahan nya disini.

5. The Power Of Motivation

Motivasi yang positif akan menghasilkan hasil akhir yang positif pula, begitu pula sebaliknya . Mengapa harus mempunyai motivasi yang positif dan apa yang dapat kita lakukan untuk mendapatkan motivasi yang positif , akan diperoleh jawabannya melalui bab ini.

6. The Power Of Awareness

Bersiaplah untuk menghadapi setiap perubahan dalam hidup, karena satu satunya yang pasti adalah perubahan itu sendiri. Pada bab ini dibahas mengenai cara untuk menghadapi perubahan tersebut serta faktor faktor lain yang masih berhubungan dengannya.

7. The Power Of Integrity

Integritas yang kita punya dalam perjalanan mencapai sebuah kesuksesan akan menentukan hasil akhir dari kesuksesan tersebut. Bagaimana sikap yang hendaknya dimiliki oleh seorang juara, anda akan menemukan jawabannya pada pembahasan ini.

8. The Power Of Consistent and Persistent Action

Pada bab akhir ini dibahas mengenai langkah yang seharusnya diambil untuk mencapai tujuan. Pada intinya adalah jangan pernah menyerah walaupun rintangan selalu menghadang. Sebuah penutup yang bagus untuk direnungkan dan diambil manfaat nya.

Pada akhir setiap pembahasan kedelapan bab tersebut di tambahkan pula rangkuman. Sehinga anda akan dapat menarik dengan mudah makna apa yang tersurat dalam pembahasannya. Jadi lebih mudah untuk diingat setiap point penting dari setiap pembahasan. Selain itu pula pada akhir buku ini juga dirangkum berbagai macam pepatah dari para tokoh dunia, yang sering muncul di tiap pembahasan dalam buku.

Buku ini pantas dijadikan sebagai koleksi anda yang berharga. Gaya penuturan dan isinya menurut saya sangat enak untuk dicerna dan masuk akal. Tidak ada jalan pintas menuju sukses, diperlukan panduan bagaimana cara mencapai kesuksesan itu sendiri. Buku ini layak dibaca untuk memberikan ‘percikan api’ agar ‘tangki semangat’ anda terus menyala siap untuk bertarung bagai harimau, dan meraih kemenagan sebagai seorang juara sejati !

Sumber buku : ‘Fight Like A Tiger, Win Like A Champion’ yang ditulis oleh Darmadi Darmawangsa dan Imam Munadhi.